"Perut ini koq tiba-tiba mules, ya." Latif bergumam dalam hati. Padahal bus Sendawa baru saja melaju beberapa kilometer setelah berhenti ngisi bahan bakar. Tadi waktu berhenti di pom bensin belum terasa seperti itu. Mau meminta berhenti jelas gak mungkin. Pasti penumpang yang lain pada ngomel. Tapi Latif nampak sudah tak bisa menahan lebih lama lagi.
Bus melaju dengan kencang. Seiring dengan kencangnya rasa mules di perut Latif. Karena sudah tidak bisa menahan lagi, Latif memberanikan diri minta berhenti kepada supir. Pak supir menggerutu, kenapa tadi tidak ke toilet waktu di pom bensin. Latif terus memohon hingga akhirnya bus berhenti tepat di ujung jembatan.
Latif pun langsung turun menggendong tas ranselnya. Ia bergegas melewati semak menuju ke sungai. Ia memilih tempat agak jauh agar tak terlihat oleh penumpang lain dari kaca bus.
Entah kenapa Latif begitu lama. Penumpang yang lain sudah tak sabar. Apalagi waktu perjalanan sudah tersita cukup lama karena macet. Beberapa penumpang turun dari bus karena kesal. Ada yang merokok atau sekedar keluar mencari angin segar.
Sudah hampir lima belas menit, tapi Latif belum muncul juga. Seorang lelaki mencoba memanggil-manggil. Namun tak ada sahutan. Rimbunnya semak di pinggiran sungai menghalangi pandangan. Latif sama sekali tak terlihat.
Pak supir nampak kesal. Berkali-kali ia membunyikan klakson. Tapi tetap saja Latif tak muncul. Entah apa yang terjadi dengan Latif.
" Sudah, ditinggal saja Pir! Kita semua bakal telat kalau begini," pinta lelaki yang tadi turun, sambil naik kembali ke dalam bus. Penumpang lain yang tadi ikut turun, kini ikut naik lagi. Mereka mendukung agar Latif ditinggal saja.
Pak supir penasaran. Ia menyuruh kondektur dan kernet untuk mencari Latif. Namun lagi-lagi Latif tak ditemukan. Kata-kata kesal dan makian bersahutan. Pak supir semakin kesal. Tak tahan mendapat gerutuan dari hampir seluruh penumpang, pak supir memutuskan untuk berangkat. Lebih baik mengorbankan satu penumpang daripada membuat seluruh penumpang terlambat sampai tujuan.
"Nah gitu .... Joss pak supir," ucap penumpang yang duduk tepat di belakang supir.
"Tancap gas ..., uhuyy," sahut yang lain.
Pak supir merasa termotivasi. Ia semakin bersemangat menjejak pedal gas. Bus melaju kencang. Terdengar sorakan penumpang ketika berhasil mendahului kendaraan di depannya.
"Jangan ngebut-ngebut pak supir, saya takut." Seorang ibu paruh baya berkomentar sambil kedua tangannya memegang erat sandaran jok di depannya.
"Tenang saja, Bu ... supirnya sudah berpengalaman, betul nggak pak supir?" sahut lelaki di belakang supir.
Bus terus melaju. Waktu merangkak mengejar senja. Sementara Latif masih mematung di dekat jembatan. Ia tak habis pikir kenapa ia ditinggal. Tapi ia memaklumi. Mungkin karena menunggunya terlalu lama. Ia juga tak habis pikir, kenapa sampai ketiduran di sandaran batu di tepi sungai tadi.
Sebuah bus tanggung muncul menawarkan tumpangan. Mendengar nama kotanya disebut kondektur, ia pun naik. Kondektur menunjukkan jok kosong di bagian tengah. Alhamdulillah, akhirnya dapat melanjutkan perjalanan, puji Latif setelah membayar ongkos bus. Ia pun bersandar memposisikan diri dengan nyaman.
Setelah beberapa saat melaju, bus yang ditumpangi Latif tiba-tiba melambat. Di depan nampak ramai orang berkerumun. Ada mobil polisi yang lampu sirinenya menyala. Latif mendekati pintu. Ia bertanya kepada orang di luar.
"Ada apa, Pak?" tanya Latif ingin tahu.
" Kecelakaan, Mas. Bus Sendawa masuk jurang," jawab salah seorang.
Bagai disambar petir, Latif sangat terkejut mendengar nama bus yang disebut orang tadi. Bus yang telah meninggalkannya. Ia tak henti bersyukur menyebut asma Allah. Jika Allah tak memberi rasa mulas di perutnya hingga ia ditinggal, mungkin ia berada di dalam bus yang masuk jurang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar