Senin, 28 Februari 2022

Senja Yang Basah

 


 

Hujan baru saja reda senja itu. Tim monev baru selesai menggelar rapat pleno di aula perpustakaan SD Margododi. Satu per satu emak-emak enerjik itu berlalu memacu sepeda motornya. Kecuali Bu Ilah. Selaku tuan rumah, ia pulang paling akhir karena harus mengunci pintu dan gerbang sekolah. Ia mempersilakan Bu Wiwit dan Bu Denon yang sedari tadi diteffon suaminya, untuk pulang duluan.

Senja mulai merangkak. Gelap pun sudah menebar aura. Ketika hendak menuju tempat parkir, Bu Ilah baru sadar kunci motornya ketinggalan di meja. Ada rasa enggan untuk kembali ke dalam. Tapi kunci itu …, ah, Bu Ilah jadi kebelet dan terpaksa kembali masuk sekalian ke toilet.

Lorong yang biasanya terang, nampak remang-remang. Tengkuk Bu Ilah mulai bergidik ketika melewatinya. Jantungnya nyaris copot ketika tetiba ada suara benda jatuh. Degupnya mereda saat telinganya menangkap suara meong. Namun, ia kembali merinding saat tahu tak ada kucing disana. Ia bergegas mencari kunci di remang ruang tak berlampu. Meja demi meja ia telaah, hingga tak sengaja menyenggol nakes yang jatuh bersama kunci motornya. Dengan seribu langkah, Bu Ilah keluar dari gedung SD tertua itu. Ia merasakan bawahannya basah kuyup hingga kaos kaki. Walau tadi ia lupa ke toilet.

Sabtu, 19 Februari 2022

Selembar Tissu

Selembar tissu menyeka bulir putih di pipi Junedi. Sudah setahun ia ditinggal istrinya yang memaksa berangkat lagi. Hasil kerja Nelly tiga tahun pertama baru cukup membangun rumah setengah jadi. Karena itulah Nelly memaksa berangkat lagi, walaupun Junedi sebenarnya keberatan. Selain karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu, tiga tahun di Taiwan telah mengubah drastis karakter dan gaya hidup istrinya.

Gosip tetangga tentang foto mesra Nelly dengan seorang pria di fb, awalnya tak dihiraukan Junedi. Namun ketika diklarifikasi lewat telfon, Nelly malah marah. Pertengkaran lewat telfon berujung Nelly minta cerai. Junedi  bersikukuh tidak akan menceraikan istrinya. Ia meminta Nelly sadar dan mau berubah. Namun, belum selesai bicara, telfon sudah terputus. 

Tak disangka, beberapa bulan kemudian Junedi menerima surat dengan sampul berkop surat Pengadilan Agama. Ia heran karena ia merasa tidak ada urusan dengan institusi tersebut. Namun ketika dibuka, isinya ternyata surat cerai. Junedi terheran-heran karena ia belum pernah menjatuhkan talak. Namun, menurut info dari pengadilan, Nelly membayar pengacara untuk mengurus perceraiannya. Junedi kehilangan semangat, dipeluknya Fitri, putrinya. Selembar tissu menyeka bulir bening di pipinya.

Senin, 14 Februari 2022

coklat valentine

Memey gadis kecil yang pintar. Ia baru duduk di kelas lima SD. Aku, mamahnya, tiap hari antar jemput ke sekolah. Maklum jarak dari rumah ke sekolah lumayan jauh. Terlahir di era digital, handphone sudah menjadi perlengkapan kesehariannya.Youtube, Instagram dan tiktok sudah jadi teman mayanya. Google adalah Mbah gurunya selain guru-guru di sekolah. Karena itulah prilakunya kadang seperti orang dewasa. 

Siang itu aku telat menjemput. Ketika sedang menunggu, Zidan menghampiri Memey. Teman sekelasnya itu sering mencuri pandang dan menggoda Memey. Walau begitu Zidan anak yang baik. Ia sering berbagi makanan kepada Memey. Siang itu Zidan memberi hadiah berbungkus rapih bertali pita segala. Memey langsung membuka bungkusan itu. Sebatang cokelat Silverqueen membuat Memey tersenyum.

Dalam perjalanan pulang, seperti biasa Memey banyak bercerita. Dengan sabar kudengarkan dan sesekali kurespon. 
Sebuah tanya membuat aku senyum-senyum. "Mamah dulu suka dikasih coklat gak sama Papah," Saat balik kutanya, Memey bilang ia tadi dikasih cokelat valentine oleh Zidan. Hmm, anak jaman now, so sweet....






Minggu, 13 Februari 2022

K a k u s

Aku sudah berjalan mengitari gang-gang sempit di sudut Jakarta. Namun tempat yang kucari belum juga ketemu. Kalau asal saja jelas tak mungkin. Nanti bisa ketahuan. Aku sudah tak tahan. Rasa ini sudah semakin menjadi. Aku berharap bisa mereda barang sejenak. Atau ada lahan kosong yang bisa kumanfaatkan. Sekejap saja. 

Berbagai tips yang pernah kudengar sudah kucoba. Di tanganku sudah tergenggam bererapa buah batu berukuran kecil. Kucoba pindahkan ke saku. Aku berharap bisa mengurangi beban, tapi tetap saja. Aku masih berharap bertemu tempat yang bisa kutumpangi. Walau perpacuan itu masih aku sabari.

Sesuatu yang terasa sudah tak nyaman 

Sabtu, 12 Februari 2022

Kolam Status

Berbagi rasa di medsos sudah menjadi rutinitas bagi netizens. Status pun nampak seperti kolam gado-gado dengan rasa nano-nano. Sedih, gembira, galau, hingga pamer kuliner dan ngiklan, menjadi menu harian warganet. Kadang aku tergelitik untuk mencoba seperti mereka. Barusan ku-update status tentang hadirnya anggota baru dalam keluarga. Foto bayi imut pun jadi bahan menarik untuk dibagikan. Seperti mereka, para netizens.

Tak selang beberapa lama, nama-nama yang kukenal satu per satu sudah terlihat mengeksplore statusku. Ketika berpindah ke papan chat, beberapa sudah merespon dengan varian rasa. Kebanyakan menunya ucapan selamat dan doa atas kelahiran si debay. Sambil duduk berteman kopi, kubalas ringan satu per satu. 

Saat sampai pada sebuah nomor berprofil foto teman kuliahku, aku tercenung. Bukan ucapan atau doa, tapi sebuah pertanyaan yang menggelitik pikiranku. "Cucu yang ke berapa, Pak?" Pertanyaan yang menimbulkan tanya lain pada diriku. Pertanyaan yang mengingatkan bahwa aku tidak muda lagi. Pertanyaan yang membuatku bersyukur di usia lebih dari setengah abad ini, aku masih dikaruniai rizki seorang bayi. Sementara teman seusiaku sudah repot menimang cucu. 

Gang Lotus

Aku tinggal di gang Lotus. Tiap hari penghuni komplek ramai keluar masuk melewati gang depan rumahku itu. Teras rumah yang tepat menghadap jalan, membuat diriku yg pendiam jadi banyak bicara. Aku rajin menyapa dan disapa mereka yang lewat. Maklum hampir seisi komplek saling kenal. Dan, gang Lotus merupakan jalan yang terdekat dan efektif keluar masuk komplek.
 
Sudah dua hari sejak aku pulang dari puskesmas, mendadak gang depan rumahku sepi. Hanya satu dua orang yang lewat. Itupun mereka memilih sisi sebrang terasku. Mereka nampak bergegas segera menjauh.  Ketimbang lewat gang Lotus, mereka memilih jalan memutar yang lebih jauh. Sapaan yang ramah tak kudengar lagi. Kalaupun ada yang lewat, mereka bermasker dan nampak enggan menengok ke arahku. Tentu, aku mendadak heran.

Kucoba bertanya diri kenapa atau apa ada yang salah dengan diriku. Kepenasaranku terjawab setelah Bu RT kutanyai. Penghuni komplek bilang mereka takut terpapar covid setelah mendengar kabar bahwa aku positif. Aku tertegun sejenak. Sambil senyum kuklarifikasi bahwa aku bukan positif covid, tapi positif hamil. Sambil membuka masker yang menyesakkan nafasnya, Bu RT terkekeh setelah memahami duduk perkaranya. 

Jumat, 11 Februari 2022

Razia



Petang itu Fariz pulang berjalan kaki. Ayahnya sedang sakit sehingga tak bisa mengantar jemput seperti biasanya. Sebenarnya ia bisa naik ojek, karena rumahnya lumayan jauh. Tapi ia pikir sayang, uangnya lebih baik dia tabung. Setelah melewati komplek perumahan, terbentang jalan menuju dusun tempat tinggalnya. Di kanan kirinya ditumbuhi rerumputan hijau, mengingatkan Faris pada kambing piaraan ayahnya.

Keesokan harinya kembali Fariz berangkat berjalan kaki. Hatinya riang memandang hamparan rumput hijau sepanjang jalan. Pagi itu Faris berangkat lebih awal karena tugas piket. Berkat kerjasama yang kompak, kelas dan halaman bersih dalam sekejap.Tak seperti biasanya, usai bel berbunyi 
ada pengumuman agar seluruh siswa berbaris di lapangan upacara. Nampak semua guru serentak masuk kelas, kecuali Pak Herman, pembina OSIS, mengumumkan pagi itu ada razia.

Tak lama beberapa tas siswa dibawa guru ke lapangan. Siswa yang terazia dibariskan terpisah dan dikumpulkan di ruang khusus, sementara yang lainnya masuk kelas. Satu per satu siswa terazia diinterogasi. Degup dada Faris kian kencang, ketika namanya dipanggil. "Ayah saya sakit, Pak. Sepulang sekolah, saya mau sekalian nyari rumput buat pakan kambing-kambingnya." Dengan agak gemetar Faris memberi alasan. Sambil menepuk pundak Faris, Pak Herman memberikan kembali arit yang dibawa Faris dan menyuruhnya segera keluar barisan.

Kamis, 10 Februari 2022

Harapan Putus

Menjadi pembantu di luar negeri sudah menjadi kelumrahan di kampung Surtini. Pekerjaan itu terpaksa ia jalani demi masa depan keluarga. Motif yang sama seperti perempuan lainnya. Penghasilan suaminya yang hanya kuli bangunan, hanya cukup untuk hidup di hari itu. Mana mungkin bisa mewujudkan mimpinya punya rumah sendiri. 

Surtini rutin mentransfer gajih ke Bang Kardi, suaminya. Ini sudah tahun keempat. Sudah terbayang istana kecilnya berdiri menghadap sawah. Disana senja-senjanya kan bergelimang cerita indah bersama keluarga. Malam-malamnya kan berhias bintang dan senandung nyanyian jangkrik. Jika musim hujan, katak-katak pun kan mendendangkan simponinya. Namun bayangan itu terasa menyirna sejak lost kontak dengan suaminya beberapa bulan terakhir.

Saat kepulangan tak ada penjemputan. Surtini diantar kendaraan PT yang memberangkatkannya. Tengah malam yang sunyi ia kembali dengan segudang harap kebahagiaan yang tiba-tiba saja pudar. Ketukannya disambut Bang Kardi dengan senyum yang tak biasa. Sementara sosok perempuan muda berbaju tidur yang bergelayut di pundak Kardi, membuat hatinya hancur dadakan. "Jadi ...," Surtini tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Penat selama perjalanan dan adegan tak terduga itu membuatnya shok. Tubuh Surti terkulai lemas di lantai....




Rabu, 09 Februari 2022

Anak Gurun Pasir

Sebetulnya Paimin tak rela istrinya daftar menjadi TKI di negeri gurun pasir. Namun, kesulitan ekonomi tak kuasa menolak kemauan istrinya. Sudah dua tahun ia terpisah. Paimin yang kerja serabutan, cuma sewaktu-waktu mencumbui istri tercintanya lewat telfon genggam. Setidaknya itu mengobati sementara kebutuhan batinnya. Ia tetap berusaha setia, walau godaan sering mengintainya. 

Saat yang ditunggu pun akhirnya tiba. Dengan mobil sewaan, ia jemput istrinya ke bandara. Kebahagiaan kembali mengisi hari-hari bersama istri dan seorang anaknya. Rumah sederhana telah terbangun dari hasil keringat istrinya. Sepeda motor telah memanjakan mereka ketika jalan-jalan sore bertiga. Maklum, selain gajih bulanan, istrinya juga mendapat bonus perhiasan yang lumayan banyak dari tuannya.

Kebahagiaan yang baru satu bulan itu, nyaris berakhir di polindes. Istrinya divonis sedang hamil empat bulan. Empat mata, Paimin berkali-kali mencoba bicara dengan istrinya yang hanya diam berurai air mata. "Aku dipaksa, Mas. Jika menolak, aku diancam penjara dengan tuduhan telah sengaja mencelakai istri majikanku hingga meninggal," akunya suatu saat sambil menggendong bayi mungil bermata indah dan berhidung mancung itu. Bayi yang tak mirip Paimin, lelaki yang kini hanya bisa menelan ludah. 


Perempuan Penjual Serabi

Usianya sudah lebih setengah abad. Namun ia masih kelihatan enerjik. Berjualan serabi sudah digelutinya sejak suaminya meninggal. Ia bangun disaat orang masih terlelap. Sepulang dari masjid, ia mulai beraktivitas hingga sang Surya menebar cahaya. Berpuluh orang, tua muda dan anak-anak selama bertahun-tahun menjadi pelanggan setia sarapan paginya. Siang harinya ia melakukan hal serupa hingga petang. Berjualan serabi.


Ia mangkal menetap di halaman balai desa. Seperangkat kerangka dari bambu buatan suaminya, masih kokoh berdiri. Hanya atapnya yang sering diganti. Kadang terpal biru atau bekas spanduk pemberian pegawai desa. Bangunan itulah yang menaunginya selama ini. Melindunginya dari terik dan air hujan selama bertahun- tahun. 

Pagi itu kerumunan pembeli masih antri. Ketika lengang, aku keluar dari mobil dan menghampirinya. Mata tuanya yang bertahun tersapu asap itu masih jelas mengenaliku. Dan tangan rentanya yang legam berkeriput itu, yang telah menjadikanku seperti saat ini. Kubantu dia bangun. Ia memelukku erat penuh rindu. "Mak, Emak berhenti saja berjualan, sudah tua. Apa kirimanku tidak cukup, Mak?" Bujukanku yang entah sudah yang ke berapa, selalu tidak ia hiraukan. Alasannya tetap sama bahwa masih banyak anak yatim dan orang jompo yang butuh uluran tangannya. Jawaban itu yang membuatku tetap bangga pada Emak, ibuku.

Geyongan, 10 Pebruari 2022

Gerobak Siomay Bang Juha

Bang Juha, rekan satu komunitas burung, kudapati sedang melamun. Aku yang hendak buru-buru pulang, terbersit untuk menghampirinya. Ia pun berkisah tentang gerobak siomaynya yang hancur kena tabrak lari. Ia tak sempat melihat nomor ataupun jenis mobilnya, karena ikut terpental. Aku berusaha menghibur dan berjanji mencarikan solusi. 

Saat makan malam, ayah bilang tadi telat pulang karena mampir ke bengkel. Sementara aku bercerita ihwal bang Juha yang habis kena musibah. Kasihan, kata ibuku. Bang Juha kehilangan sumber penghidupan satu-satunya. Ibu juga sempat menyumpah serapah si sopir yang ugal-ugalan dalam ceritaku. Itu bentuk empatinya yang spontan dan membuat ayah saat itu sempat tersedak. Ayah justru menyalahkan bang Juha yang berjualan di jalan. Beda pendapat antara ayah dan ibuku sempat menyulut debat kecil bertabur argumen kehidupan yang mengayakan jiwa. Ayah bermenung ditemani kepulan asap Sampoerna mild. Berbatang-batang hingga larut malam.

Esok harinya, aku melihat seseorang menurunkan gerobak dari pick up dan mendorongnya menuju rumah bang Juha. Karena penasaran, aku bertanya pada bang sopir. Katanya gerobak baru itu sebagai pengganti gerobak yang ditabrak pria yang menyuruhnya namun tak mau menyebutkan nama. Walaupun demikian, pak sopir sempat melirik pin di baju seragamnya. Pria itu bernama Herman Maladewa. "Ayah!" Desahku berjuta rasa.



Selendang Bermotif Mawar


Suasana hendak ke pesta undangan sontak berubah gegara hilangnya selendang nenek. Nenek yakin betul ia menaruh selendang itu di atas kain dan baju brukat pasangannya yang tertumpuk di atas kursi. Masalahnya nenek tak mau berangkat kalau tidak memakai selendang kenangan dari almarhum kakek itu. Seisi rumah jadi merasa bersalah dan saling pandang curiga.

Sebelum nenek marah, semua ikut mencari selendang bercorak mawar itu. Kak Mey mengobrak abrik lemari dan kamar. Mamah mencari di tempat cucian kali aja lupa belum dicuci. Mas Hendri menyatroni jemuran dan kebun. Siapa tahu selendang itu kabur terbawa angin. Sementara ayah tak sabar membolak balik pergelangannya, memantau detik demi detik waktu di arlojinya. Sudah hampir setengah jam mencari, selendang tak kunjung ditemukan.

Nenek cemberut sambil duduk di kursi goyang. Kaki kirinya menumpang di paha kanan. Matanya tak berkedip memandang foto tampan kakek sewaktu masih muda. Tak ada yang berani mendekat kecuali Boby yang berteriak sambil berlari ke arahnya. "Nek, Nek!! Molly punya bayi. Luccuuu banget, Lo Nek," Boby menarik tangan nenek menuju tempat Molly. Semua berhambur mengikuti dari belakang. Bayi-bayi kucing Persia itu berjajar sedang netek pada induknya beralaskan selendang dengan motif mawar.





Selasa, 08 Februari 2022

Sainganku, Kekasihku

Dengan sombongnya ia menempelkan hasil ulangannya di papan Mading. Entah ini sudah yang ke berapa kali, yang pasti hal ini membuatku muak. Namanya Rendi. Anak pengusaha kripik gadung itu memang pintar. Namun tabiatnya yang membuatku tak suka. Hobby pamernya bukan hanya pada nilai ulangan saja, tapi hal lainnya. Gonta ganti motor ke sekolah hal biasa. Arloji luar negeri pun tak ketinggalan jadi ajang pamernya.

Semester yang lalu ia peringkat 2 di bawahku. Namun, setelah covid datang, PJJ membuatku terpuruk. Aku yang peringkat 2, dan ia yang pertama. Ayahku yang kena PHK membuat ekonomi keluarga morat marit. Jangankan mengganti hp yang rusak dibanting adik, buat kuota saja kadang tak sanggup beli. Aku jadi sering tertinggal pelajaran.

Tak kuduga, sekolah menunjuk kami, aku dan Rendi, menjadi duta pada olimpiade sains. Mau tak mau, kami jadi sering bertemu untuk belajar bersama. Ternyata Rendi tak seburuk yang kuduga. Ia sebenarnya anak yang baik dan suka berbagi. Usai pengumuman pemenang, Rendi menghampiriku, "Sri, ini untukmu.' Rendi memberiku sekuntum mawar yang tak dapat kutolak. Ia kini rajin datang apel setiap malam Minggu.


Sabtu, 05 Februari 2022

Good Habbit

Good Habbit

 

Jalan dengan turis bule sangat dirindukan Paimin. Mahasiswa jurusan Bahasa Inggris itu sedang berbulu native speaker untuk berlatih speaking. Saat itu Paimin berkenalan dengan Jacky, turis asal Finlandia. Paimin membersamainya jalan kaki keliling kota. Sambil jalan mereka berbincang banyak hal tentang kebiasaan dan budaya hidup masyarakat.

Sambil jalan juga mereka banyak mampir ke tempat jajanan kuliner yang khas. Kadang menikmatinya sambil jalan atau saat duduk beristirahat. Jacky banyak membeli handycraft sebagai cindera mata. Jacky sangat prihatin dengan seringnya menjumpai sampah yang berserak di tempat umum. Paimin merespon ringan bahwa itu hal biasa.

Saat nyantai jajan kacang rebus, Jacky nampak sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya. Ia memeriksa beberapa bungkusan plastik hitam. Jacky mengajak kembali ke tempat yang tadi disinggahi. Ada yang hilang, katanya. Di sudut taman matanya tertuju pada sebuah bungkusan plastik hitam lalu membukanya. "This is what I'm looking for," ungkapnya. Paimin pikir barang penting dan berharga, plastik itu berisi sampah bekas botol air mineral dan bekas bungkus kue. Jacky memasukkan sisa kulit kacang yang sedari tadi ia genggam lalu membuangnya di box sampah. Malu-malu Paimin memunguti kulit kacang yang ia lempar sembarangan. Jacky tersenyum mengacungkan jempol….



Writer's Block

Pentigraf Oleh: Yoyon Supriyono Diskusi mingguan sekitar masalah literasi di komunitas literasi Zamrud semakin ramai saja. Semu...