Jumat, 31 Desember 2021

alih tugas

Aku berikan yang terbaik pada siapapun dan pada apapun. Termasuk pada tempatku bekerja sebagai abdi negara. Nasib berpihak padaku, walau hatiku sempat tercabik karena cinta terhalang jarak. Aku ditempatkan jauh dari tambatan cintaku. Gadis pendiam petugas perpustakaan tempat cintaku berlabuh itu telah menggantung rindu-rinduku.

Setahun waktu yang sangat lama terasa. Di tempat baru kudedikasikan segala potensiku. Datang pagi pulang petang. 

Sabtu, 18 Desember 2021

S a n k s i

.            ( Gambar : doc.ponpesbima)
Pentigraf
Oleh Ye-eS
Rasa rindu Aytun kepada anak semata wayangnya kian hari kian berat. Aura, selepas SD dikirimnya ke pondok pesantren untuk memperoleh pendidikan yang baik, terutama pendidikan agama. Ini memang pilihan terbaik untuk membekali anak baik ilmu agama atau bekal ilmu lainnya. Apalagi anak perempuan, tinggal dan menimba ilmu di lingkungan pondok pesantren lebih membuatnya terjaga, terutama dari pengaruh pergaulan zaman sekarang yang cenderung bebas. Walau demikian, yang dirasa berat bagi orangtua adalah rasa kangen dan rindu. Aturan pondok teramat ketat. Antara wali dan santri tidak diperbolehkan sering bertemu karena akan membuat santri
 tidak betah. 

Untuk menyiasati hal itu, pada suatu kesempatan penjengukan, Aytun menyelipkan sebuah handphone di tas Aura. Aura memahami maksud ibunya. Ia pun menyimpan rapih hpnya dan hanya sewaktu-waktu menggunakannya. Ini berjalan cukup efektif beberapa waktu. Suaminya, Paimin, sudah memperingatkan hal itu tidak baik dalam menanamkan disiplin dan kemandirian, selain hal ini dilarang oleh pihak ponpes.

Suatu pagi di hari Sabtu, Aytun dikejutkan dengan kiriman sebuah video dari pengasuh ponpes. Video itu berisi Aura yang sedang menghancurkan handphonenya dengan sebuah palu. Baru saja hendak menelpon pengasuh pondok, sebuah notice pesan berbunyi. "Putri anda terjaring razia handphone, dan sebagai sangsinya hp tersebut harus dihancurkan oleh tangan santri sendiri. Atau, hp dan santrinya dikembalikan ke orangtua." Terbayang cicilan yang masih panjang, sementara hpnya telah hancur oleh tangan putrinya sendiri. 

Rabu, 15 Desember 2021

Kaos Kaki Bolong

                       (Gambar: kisah inspiratif)
Pentigraf
Karya Ye-eS

Paimin memandangi kaos kaki bolongnya yang teronggok di ember cucian. Sayang kalau dibuang, pikirnya. Sayang juga klo harus keluar uang buat beli yang baru. Gak seberapa sih. Tapi bagi anak kuliahan yang hidup merantau, tentu sangat berharga. Apalagi dompet sedang menipis dan uang kiriman sudah mau habis. Toh masih bisa dipakai dan tidak mungkin kelihatan bolongnya. 

Walau selapuk apapun, Paimin takkan membuang kaos kaki itu. Dengan memandangnya saja, sudah bisa menjadi pengobat rindu pada pemberinya. Aytun, seorang gadis mahasiswa seni yang kini rajin ia kencani. Weekend nanti juga sudah ada janji. Walau Paimin masih bingung, mau kemana malming nanti. Mau diajak ke kafe, khawatir isi dompet gak nyampe. Maklum si doi suka banyak maunya.

Sabtu pagi Paimin tak sengaja ketemu Aytun di acara kampus. Di tengah acara, ada selingan doorprize bagi pengunjung yang beruntung. Pengunjung dipanggil secara acak dengan syarat tertentu yang kadang aneh-aneh. Mulanya Paimin tak tertarik. Tapi saat pemandu acara memanggil pengunjung yang memakai kaos kaki bolong, ia langsung berdiri untuk menuju ke panggung. Aytun menarik lengan Paimin. "Ngapain, Mas, malu ah!" Paimin hanya tersenyum tak menghiraukan. Tepuk tangan meriah hadirin menggema saat Paimin membuka sepatu dan menunjukkan kaos kaki bolongnya.  Paimin melenggang dengan hadiah dua tiket gratis ke Malibu. Kencannya malam Minggu nanti akan berkelas. Aytun menatapnya sumringah.
 

Selasa, 14 Desember 2021

J a t u h

Baru kali ini Paimin berada di ketinggian. Ia terus mendaki tebing terjal berbatu. Tangannya menggapai mencari pegangan. Kakinya harus tepat menapak pijakan. Tenaganya ia kumpulkan untuk mengangkat tubuhnya. Jarinya berpindah pegangan. Mencengkeram kuat tonjolan batu di badan tebing. Sekali terlepas ia akan disambut dasar jurang yang menganga. 

Nyalinya hampir saja hilang. Namun suara sayup-sayup memanggil namanya kembali menguatkan tekadnya. Aytun dalam bahaya. Entah bagaimana komplotan pemuda berandal itu sampai bisa ke puncak tebing membawa tambatan hatinya. Paimin yakin kedatangannya tak diketahui. Sudah tak sabar ia ingin menghajar komplotan itu dengan jurus silat yang dipelajarinya di padepokan.

Sesekali ia menoleh ke bawah. Begitu curam. Ia menatap sekeliling. Tiba-tiba angin bertiup begitu kencang. Suaranya bergemuruh. Awan yang berarak tergerak menuju ke arahnya. Jantungnya berdegup kencang. Hatinya menciut, menahan terpaan angin yang kian kencang. Pertahanannya melemah. Tempat pijakannya tiba-tiba merapuh. Bebatuan yang keras itu pun bergetar dan menghancur. Dalam terpejam ia terlepas. Tubuhnya melayang-layang hingga ke bawah. Gubrak. "Kamu ini apa-apaan Mas .... Tidur siang aja jatuh dari kasur," Aytun terkekeh mendapati suaminya terjatuh dari tempat tidur.

Jumat, 10 Desember 2021

kutitip cinta pada pemilik cinta

                                                                 (Gambar: Iqra.com)

Pentigraf
Karya Umi Noor

       
       Lantai 2 Flamboyan 212 begitu lengang. Sesekali cahaya kilat merasuk lewat kaca jendela yang bercadar kain menjuntai. Langit malam belum lelah menebar gerimis. Seperti kelopak mataku yang tak mampu membendung tangis. Kupeluk Mas Pras yang terbaring lemah diatas tempat tidur. Selang infus yang menempel ditangannya sedikit menghalangi pelukanku. Tubuh Mas Pras menggigil dan sesekali bergerak-gerak. Matanya terpejam kuat seperti menahan rasa sakit yang teramat sangat. 
      Kudekatkan bibirku ke telinganya. Kubisikkan kalimat-kalimat toyibah. Kutuntun Mas Pras agar mengikuti ucapanku. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, seprti menirukan ucapanku. Kepegang erat telapak tangannya. Ingin rasanya kuberikan seluruh kekuatanku padanya. Kucium pipinya dengan tetap kubisikan kalimat toyibah. Namun tiba-tiba dari mulutnya keluar busa putih, reflek aku mundur menjauhkan wajahku dari wajahnya. Aku beristighfar. Kuambil tisu lalu kulap mulutnya. Tapi busa masih terus keluar bahkan dari telinga juga. Mbak Yani yang menemaniku, segera keluar dan kembali bersama seorang dokter dan beberapa perawat. 
      Perasaanku jadi tak menentu. Rasa takut dan hawatir bercampur dengan isak tangis yang tak dapat kubendung. Aku takut kehilangan Mas Pras. Aku belum siap berpisah dengannya. Ketakutanku semakin menjadi ketika tubuh Mas Pras tiba-tiba mengejang. Matanya terbuka bersamaan dengan tarikan napasnya yang begitu panjang. Lalu perlahan terpejam seiring nafasnya yang kian menurun. Kupanggil namanya sambil kugoyang-goyang tubuhnya. Dokter dan perawat segera melakukan tindakan. Pacu jantung dihentakkan beberapa kali. Namun Mas Pras tetap terkulai diam. Dokter menatapku sambil menggelengkan kepala memberi isyarat. Seiring suara dari monitor berbunyi panjang dan garis spiral kian melurus datar. Mas Pras nampak seperti tertidur lelap, raut wajahnya tenang tanpa menahan rasa sakit lagi. Aku baru merasakan keanehan. Kupanggil suamiku berkali-kali sambil kupeluk erat. Kuciumi keningnya dengan tangis yang yang tak dapat kubendung. "Innalillahi wa innalillahi rojiun" Ucapan Mba Yani samar kudengar. Semuanya menjadi gelap.

Ritual Malam Jum'at

    
       Malam Jum'at memang masih dianggap sakral. Ayah Jamilah yang keturunan Jawa, sering melakukan ritual pada malam itu. Konon katanya, pada malam Jum'at arwah leluhur menyambangi keturunannya. Ayahnya selalu menyediakan berbagai suguhan atau sesajen untuk menyambut leluhurnya. Selain itu ayah Jamilah memiliki banyak benda pusaka bertuah. Pada malam Jum'at pula, benda-benda pusaka itu disucikan. Berbagai ritual pun dilakukan.
      Malam Jum'at yang lalu Jamilah pun melakukan ritual. Maklum baginya malam Jum'at bukan hanya sakral, tetapi malam yang selalu ia tunggu-tunggu. Ia ingin menjadi istimewa pada malam itu. Sejak petang ia sudah nguprak nguprek tubuhnya. Ia pergi ke salon untuk perawatan dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki. 
      Sebuah motor ojek berhenti menurunkan penumpang di depan rumahnya. Hati Jamilah berbunga-bunga menyambut kedatangan tambatan hatinya. Sebuah pelukan dan kecupan mendarat di keningnya. Aliran darahnya mendadak berseliweran penuh harap. Usai merapikan tas dan mengunci pintu, Jamilah melenggang gemulai dengan gaun tidurnya menuju peraduan. Mimpi indahnya buyar saat mendapati pangerannya sudah terlelap. Jamilah kecewa. Semua ritualnya sia-sia. O

Memeluk Rembulan

Pentigraf
Karya Umi Noor

       Senja kian temaram. Hujan sore tadi menyisakan dingin yang menusuk tulang. Suara adzan maghrib baru selesai berkumandang.Terdengar senandung shalawat dan pujian dari beberapa mesjid dan musholla. Jalanan nampak lengang, hanya sesekali kendaraan berlalu lalang. Seorang pemuda berpostur tubuh atletis, berjaket dan berhelm hitam menutupi seluruh wajah dengan kecepatan sedang masih memacu ninjanya di jalanan. Dialah Rama, pemuda yang sopan, baik hati dan mandiri. Karena pekerjaanya, dia kost di luar kota. Dia biasanya pulang saat akhir pekan.     
         Kamis sore, kerinduan pada ibunya tak tertahankan. Ibu sepuh yang sendirian di rumah. Ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu. Kedua kakak perempuannya ikut bersama suaminya. Selain itu, ada rindu yang membelenggu hati dan pikirannya. Rindu pada tambatan hati sejak SMA dulu. Sudah lama tak berkabar. Saat dihubungi, nomor ponselnyapun tidak aktif. Memang Rama belum pernah menyatakan perasaannya pada gadis itu. Tapi bagi Rama, perhatian dan keakrabannya selama ini sudah lebih dari cukup sebagai isyarat cinta padanya. 
       Sampai di rumah, Rama mendapati ibunya sedang berdzikir di kamar. Ia bergegas ambil wudhu lalu shalat maghrib. Ibunya masih berdoa ketika ia usai sholat. Rama menyandarkan tubuhnya pada sofa di ruang keluarga. Saat hendak mengambil remot TV di atas meja, matanya tertuju pada secarik kertas undangan yang terlihat indah. Tangannya  perlahan hendak membuka plastik sampul undangan itu ketika ibunya tiba-tiba muncul dari kamar. "Itu undangan dari Sinta, lusa dia akan menikah." Suara ibunya yang lembut terasa bagai petir yang menyambar. Selama ini ia ternyata hanya memeluk bulan, batinnya.

Rabu, 08 Desember 2021

Gara-gara Daring

Pentigraf
Karya  Yayah Kurniyah
Editing oleh Yoyon Supriyono

Menang repot kalau punya banyak grup wa. Repotnya sama seperti punya istri banyak. Kadang kesulitan mengatur waktu untuk bisa eksis, up to date dan proporsional. Belum lagi jika punya peran sentral seperti menjadi pembicara dalam webinar, mengajar daring, atau kegiatan online lainnya. Kepala ini rasanya berisi jejaring laba-laba yang ruwet. Kadang pusing dan kewalahan sendiri. Pagi harus berada dimana, siang berkunjung kemana, sore, malam dan seterusnya harus selalu stay tune. Atau sekedar menikmati diksi yang berkeliaran dalam pentigraf yang lagi bertabur di kolider. Tapi itulah takdirku. Waktu hidupku banyak kuhabiskan di dalam kamar atau ruang kerja. Semua aktivitas kulakukan dari dan di rumah. Kesibukanku berpindah tempat di dunia maya. Kadang makan pun terabaikan. Sering telat. Pinggang sering terasa panas dan pegal, hingga menjalar ke punggung.

Pagi tadi aku bangun kesiangan. Maklum semalam terlena berkencan dan bercumbu dengan hiruk pikuk penghuni internet. Jam sembilan. Woalah ada beberapa event dan jadwal daring yang sudah telat. Aku harus segera stay tune dalam belahan jiwaku, dimana duniaku ada di sana. Sebuah benda pipih bernama hape, handphone, atau apalah sebutannya. Beberapa saat aku mondar mandir mencarinya. Namun sudah semua ruangan di rumah ini kugeledah, belum juga kutemukan. Entah berada dimana dia. Aku semakin bingung, kesal dan panik. Sesekali kupelototi jarum jam yang terasa cepat sekali berputar. Rambut yang mulai memutih di atas batok kepalaku yang agak botak, menjadi sasaran garukan jemari kukuku walau tidak gatal.

Waktu terasa semakin menghimpitku. Rasa bingung, kesal, marah bersimbiose dalam stres dan kepanikan. Aku berusaha menenangkan diri. Kuambil napas dalam-dalam. Mataku kupejam dalam dunia permenungan. Tiba-tiba terbersit ingatan akan tempat tidur. Segera kubuka mata dan kuangkat tepian kasur. Benar. Sosok itu ada disana. Tanganku reflek meraihnya dan hanya dalam hitungan detik  benda pipih itu sudah berantakan berkeping-keping di atas lantai. "Prak!" Tak sadar aku telah membantingnya. Rasa jengkel secepat kilat berubah menjadi penyesalan. Aku terdiam menatap kepingan-kepingan tak berguna. Bayangku melayang pada jendela-jendela zoom yang terlewat. Sesekali terlintas guliran chat di kolider yang ditumbuhi virus-virus pentigraf yang terus menjamur.

sahabat malam

Insomnia. Kata ini sudah menjadi temanku mencumbui malam. Entah sejak kapan tepatnya berawal. Mungkin sejak aku kehilangan teman-teman setelah satu per satu menemukan pasangan hidupnya. Atau sejak seringnya mendengar rengekan ibuku yang rindu menimang cucu. Atau panas mendengar gunjingan tetangga yang menganggap ku perjaka tua, bujang lapuk atau jomblo abadi. Ah, persetan dengan semua itu. Yang pasti dalam malam kutemukan damai hati. Apalagi bila Amelia hadir

Lala

Lala. Begitu panggilan anak perempuan berusia empat tahun itu. Wajahnya cantik dengan rambut ikal pendek dan pipi cubby. Kulitnya coklat sawo matang, khas anak nelayan yang akrab dengan pantai. Dia aktif dan periang. Berbeda sekali ketika usianya belum genap setahun. Saat itu ia mengidap sakit jantung bawaan. 

Beruntung, Rumah Sakit Harapan Kita telah memenuhi doa dan harapan orang tuanya. Paska tindakan operasi pemasangan balon pada jantungnya, Lala tumbuh normal seperti anak seusianya. Dia sehat, riang, pintar dan lincah. Gerakannya sungguh gesit. 

Saat ini ia lagi gandrung bersepeda. Sebuah sepeda mini hadiah ultah, menjadi teman setianya sehari-hari. Merasa sudah mahir, ia minta ayahnya melepas roda penyangga, seperti teman-temannya. Awalnya masih oleng, tapi Lala terus mencoba hingga lancar. Beramai-ramai Lala bersepeda dengan teman-temannya. Full semangat, Lala mengayuh sepeda dengan kencang memimpin di depan. Saat hendak berhenti ia mendadak menarik rem. Namun karena lajunya terlalu kencang, sepeda Lala oleng dan terjun ke selokan. Teman-temannya berhenti dan tawa berirama koor pun meledak. Lala segera bangun lalu meraih sepedanya. Melihat tawa teman-temannya, Lala pun ikut terbahak-bahak. Pakaian basah kuyup dan berlumpur tak dihiraukannya. Beruntung dia tidak apa-apa, malah tertawa gembira. Ini pengalaman pertamanya jatuh dari sepeda.

wajah datar

Pentigraf 
Karya Mardiani

Udara London  terasa dingin meskipun sudah memasuki musim panas. Kami berempat  menunggu bis di  halte sekitar Almey Road. Tidak lama bis tingkat merah khas London alias  Doble decker merapat di halte. Bis 102 dengan tujuan akhir Golden Green ini akan mengantarkan kami  ke  Mesjid Raya London. 

Pintu bis terbuka,  tamapak seorang pria berkulit hitam duduk dibelakang kemudi. Wajahnya datar tidak mmemberikan ekspresi apa-apa. Satu persatu dari kami segera naik ke dalam bis dengan menempelken kartu oyster sebagai alat pembayaran non tunai ke kotak sensor yang ada di dekat  dasbor bis. Namun  saat oysterku ditempelkan, sensornya tidak merespon. Ternyata saldo pulsa di kartuku tidak mencukupi. Lalu aku mencoba menggunakan kartu cadangan. Masih tidak merespon. Aku jadi bingung dan panik. Sementara disekitar sini tidak ada toko yang menyediakan isi ulang kartu Oyster.  Lalu pengemudi bis menyarankan kami untuk menggunakan kartu kredit atau kartu debit. Aku mencoba beberapa kartu yang kami miliki, namun sepertinya tidak ada yang support. 

Aku benar-benar bingung, transportasi disini tidak ada yang menggunakan uang tunai. Kami manatap sang pengemudi berharp ia mengijinkan aku naik. Masih dengan wajah datar si penegmudi  menatap kami sejenak, “ Okey, take your seat.” katanya. Hatiku girang tiada terperi. Kuucapkan terim kasih tak terhingga padanya. Ia hanya mengangguk masih dengan ekspresi datar.

Bu Linda

Pentigraf
Karya Wiwit Widiyanti


Letak kelas 4 berada di lantai dua. Setelah menaiki tangga, berbelok ke arah kanan. Ruang kelas tersebut terletak di paling sudut kanan. Sebelum memasukinya, masing-masing siswa melewati lorong yang sedikit tertimpa cahaya. Agak gelap memang, karena sinar mentari terhalang oleh rak pajangan piala. Ada rasa yang tidak biasa setiap melewati lorong tersebut. Rasanya ingin mempercepat langkah melewati lorong, supaya segera sampai di dalam kelas.

Bu Linda wali kelas 4, telah duduk dengan wajah tertunduk di meja guru menunggu kehadiran siswa siswinya. Setiap siswa yang datang, langsung menuju tempat duduknya dan mengobrol dengan teman-temannya. Tak lama kemudian, bel berbunyi menandakan waktu mulai belajar telah tiba. KM segera menyiapkan kelas untuk memimpin berdoa dan mengaji. Bu Linda tetap duduk di mejanya dan tak banyak bicara. Dia hanya menatap siswanya sesaat dengan tatapan kosong. Wajahnya yang ayu dan putih, terlihat lebih pucat.

Selesai siswanya mengaji, tanpa berbicara sepatah katapun bu Linda keluar dari kelas. Anak-anak saling berbisik hingga terdengar ketukan halus dari balik pintu. Kepala Sekolah mengabarkan bahwa Bu Linda mengalami pendarahan hebat dan meninggal dunia beserta bayi yang dikandungnya. Seorang siswa  bertanya, "Pak, siapa yang duduk di meja guru tadi?" Semua membisu, hanya aroma melati menyeruak ke ruangan kelas.

Senin, 06 Desember 2021

KM 166

Pentigraf
Oleh Yoyon Supriyono

Sudah setengah jam aku di rest area KM 166. Apakah dia hanya mempermainkan perasaan pria yang sudah bertahun-tahun menjomblo ini? Ah, tidak! Walau keakraban kami terjalin hanya dalam maya, dia telah berlabuh jauh dalam samudra hatiku. Bagiku, gadis yang kukenal dalam webinar menulis fiksi itu sudah teramat dekat. Pandainya dia mengukir kata, kisah getir cintaku telah menginspirasi karyanya. Aku terbawa alur kisahnya, hingga ada rasa yang berkecambah dan ingin kusemai di hatinya. 

Sudah satu jam aku masih sabar menunggu. Kucoba membunuh ragu yang genit menggoda. Entah aku yang terlalu lugu, atau benih rasa terlalu kuat menguasai nalarku. Masih yakin sebentar lagi akan kulepas setangkai mawar dari busur hatiku. Kubiarkan bibir ini tersenyum membayangkan dia menerima mawar persembahanku. Kubiarkan juga ada bahagia terkemas dalam harap yang terselip di lubuk hati. Tetap kubiarkan, hingga waktu yang jadi penentu.

Jelang sabarku hilang, seorang gadis tetiba sudah berdiri menyapaku. Ternyata dia benar-benar datang. Ada girang diantara degup jantung yang mengencang. Tapi juga ada tanya, siapa lelaki yang bersamanya. Lelaki yang tak pernah ia ceritakan dalam keakraban maya selama ini. Pasti dia adalah adik, kakak, atau famili yang mengantarnya, pikirku menghibur diri. "Mas Paimin, ini Rangga, editor novel pertamaku yang akan segera terbit. Nanti hadir ya saat launching sekaligus pertunangan kami," katanya sambil menaruh undangan warna pink. Kuremas mawar yang sedari tadi kugenggam di bawah meja taman. 



perjuangan ke Paris



Pantai sumur Tiris (Paris) menjadi obyek wisata yang lagi viral saat ini. Sering kutemukan viewnya dicumbui pecandu Selfi terpajang pada dinding medsos. Aku yang warganet pemula, jadi penasaran dibuatnya. Bersama teman-teman grup alumni UT kami pada Minggu pagi di akhir November, kami bermotor ria kesana. Walau sedikit mendung di awal pagi, tidak menghalangi kami untuk berangkat. 

Perjalanan dari kota ke lokasi lumayan jauh. Aku putuskan untuk mengendarai N-Max, penghuni baru di garasi kami. Motor berpostur bohai ini cocok dengan bodiku. Selain itu, aku belum mencobanya untuk jarak yang agak jauh. Awalnya jalanan begitu mulus. Namun ketika berbelok ke perkampungan, Medan jalannya banyak berlubang. Ditambah lagi hujan yang turun semalam menyisakan genangan air. Aku harus extra hati-hati. Jika tidak, baju dan sepatu baruku yang kelonggaran ini tentu akan bersimbah cipratan air kotor. 

Selesai menembus perkampungan, kami dihadapkan pada medan yang lebih ekstrim. Jalan tanggul sempit dan licin dengan bentangan empang di kanan kiri, membuat down nyaliku. Aku berhenti untuk mengumpulkan keberanian yang sempat terserak. Walau sudah tertinggal jauh, bayangan Paris mendongkrak semangatku. Si bohai kembali meluncur perlahan. Rasa tegang berpadu semangat membuat suasana hatiku bak permen nano nano. Rasa itu juga membuat mati rasa. Sampai di lokasi aku disambut tepuk tangan oleh rombongan yang telah tiba duluan. Tidak hanya tepuk tangan, tawa yang tak henti dan tatapan mata ke bawah kakiku membuatku curiga. Aku terkejut mendapati kakiku blepotan tak bersepatu. Parahnya lagi sebelah telapak kakiku sudah tak berkaos kaki. Aku baru sadar semua itu yang membuat mereka tertawa. Entah terbenam dimana sepatu baruku. Juga sebelah kaos kakiku. Tapi semua terbayar oleh keindahan view pantai dan menara Eiffel tiruan yang nampak tertawa sinis memandangku. 

Jumat, 03 Desember 2021

Kepulanganku

Kepulanganku kali ini tak seperti biasanya. Cuti yang kuambil cukup lama, hampir satu bulan. Biasanya aku pulang enam bulan sekali. Namun waktu cutinya cuma sepuluh hari. Jika pulang setahun sekali, maka waktu cutinya 20 hari plus ada bonus dua hari. Itu aturan di tempatku bekerja. Sebuah perusahaan asing di luar Jawa. Semua sudah kurencanakan dengan matang. Semua itu agar aku punya waktu leluasa untuk melepas rindu dengan keluarga. Membersamai mereka dalam waktu yang agak lama adalah dambaanku selama ini. 

Seperti biasa aku disambut dengan penuh kegembiraan. Terutama putri kecilku yang baru berusia lima tahun. Ia tak mau lepas denganku. Tidurpun minta dikeloni aku, papahnya. Yang sulung kebanyakan mengalah. Ia sudah kelas tiga SD, dan ibunya mendidiknya agar mandiri. Hari-hariku kulalui dengan mengajak keluargaku berbelanja ke mall, berwisata, dan mengunjungi kerabat dekat. Terutama ibu yang sering aku kunjungi, karena beliau sedang sakit. Radang akut sudah lama bersarang di paru-parunya. 

Menjelang cutiku habis, istriku bilang bahwa ia sepertinya sedang mengandung. Aku bahagia mendengarnya. Akupun mengajaknya untuk memeriksakan kandungannya ke bidan atau dokter. Awalnya menolak, tapi akhirnya setuju dengan syarat ia berangkat sendiri saja dan aku membersamai anak-anak di rumah. Aku setuju saja walau kurasa ada yang ganjil. Hingga kutemukan secarik kertas catatan kehamilan yang tersimpan dalam tas coklat yang ia sembunyikan dalam lemari. Bagai tersambar petir saat kutahu bahwa istriku sedang hamil empat bulan. Tulang-tulang seperti terlepas dari tubuh saat teringat cerita ibu bahwa ayah sering menginap untuk menengok cucunya. Aku terduduk lunglai dengan remasan kertas di tangan. Istriku datang meratap di pangkuan. Sementara'di luar pintu kamar ayahku berdiri mematung.

Writer's Block

Pentigraf Oleh: Yoyon Supriyono Diskusi mingguan sekitar masalah literasi di komunitas literasi Zamrud semakin ramai saja. Semu...