Pesume ke-17
Gelombang 28
Tema : Diksi dan Seni Bahasa
Narasumber : Maydearly
Moderator : Widya Arema
Hari, tanggal : Jum'at, 17 Pebruari 2023
Tak terasa kita sudah memasuki pertemuan ke-18. Narasumber kali ini seorang
guru berprestasi dari Lebak Banten, Ibu Maydearly. Dan sebagai moderator Ibu
Widya Setianingsih dari kota Malang. Mereka berdua akan berbagi ilmu dengan
tema “Diksi dan Seni Bahasa.”
Omjay selalu menyemangati peserta
yang satu per satu terjatuh dan keluar dari WA Group KBMN PGRI ini. Wa Group
yang awalnya penuh sebanyak 1025 orang, kini telah menyusut pelan-pelan menjadi
924 orang. Dari semuanya itu mungkin hanya sedikit yang mencapai garis Finish.
Ibarat lari marathon, mereka sudah kehabisan nafas sebelum pintu kemenangan
dibuka.
Belajar secara online memang dibutuhkan kesabaran sekaligus keikhlasan.
Siapa yang sabar pasti akan pintar. Siapa yang ikhlas pasti tuntas. Belajar
menulis harus dimulai dari diri sendiri. Menjaga konsistensi dalam menulis
bukanlah perkara mudah. Menulis dalam kesibukan bukanlah perkara yang mudah
dilakukan. Namun, berikanlah tugas itu kepada orang yang sibuk. Sebab orang
yang sibuk itu pandai mengelola waktu dengan baik. Mereka sukses dalam
hidupnya.
Simak permainan diksi indah dari narasumbar dan moderator berikut :
‘SAHABAT’
(puisi akrostik) Oleh : Widya Setianingsih
S ayap kami saling menyangga
A rungi berdua gemerlap letihnya dunia
H adirkan setiap warna membungkam resah yang ada
A baikan setiap mata munafik yang bersorak dalam duka
B iarkan tangan kami saling tergenggam, menguatkan dalam balutan doa
A tau mentertawakan takdir yang dengan seenaknya mengatur hilir mudik
nestapa
T ak usah dengarkan mereka, cukup bersamamu hatiku jauh dari gulana.
mari kita baca karya indah Maydearly
dalam balutan diksi indah nan menawan berikut ini.
‘Senja Mengukir Cinta’
Oleh: Maydearly
Deru angin
dalam semilir
Mengukir
ruang resah
Tentang
senja paling gulita
Yang membawa rasa untuk dia.
Untuk
rembulan dalam temaram
Ku
titipkan singasana cinta
Berceloteh
tentang rindu
Yang bersembunyi dalam diam.
Sunyi
bertahta dalam gelap
Hampa riak
suara, kelabu
Hanya
menandu rindu
Dari cinta yang berselimut dingin.
Rasa cinta
yang tetap terjaga
Bak
bersanding dengan alam
Menjadi
singgasana keabadian
Membumi dengan lubuk paling dalam.
Untuk dia,
ku jaga rasa
Memeluk
rindu seabad
Ku
sampaikan dalam maya
Agar
terukir cerita paling menawan.
Kata ‘Diksi’
berasal dari bahasa Latin: dictionem, yang diserap ke dalam bahasa Inggris
menjadi diction yang berarti pilihan kata untuk menuliskan sesuatu secara
ekspresif sehingga sebuah tulisan memiliki ruh dan karakter kuat, mampu
menggetarkan atau mempermainkan pembacanya.
Dalam
sejarah bahasa, Aristoteles – filsuf dan ilmuwan Yunani inilah yang
memperkenalkan diksi sebagai sarana menulis indah dan berbobot. Gagasannya itu
ia sebut diksi puitis yang ia tulis dalam Poetics– salah satu karyanya.
Seseorang akan mampu menulis indah, khususnya puisi, harus memiliki kekayaan
yang melimpah: diksi puitis. Gagasan Aristoteles dikembangkan fungsinya, bahwa
diksi tidak hanya diperlukan bagi penyair menulis puisi, tapi juga bagi para
sastrawan yang menulis prosa dengan berbagai genre-nya.
William
Shakespeare dikenal sebagai sastrawan yang sangat piawai dalam menyajikan diksi
melalui naskah drama. Ia menjadi mahaguru bagi siapa saja yang berminat
menuliskan romantisme dipadu tragedi. Diksi Shakespeare relevan untuk menulis
karya yang bersifat realita maupun metafora. Gaya penyajiannya sangat
komunikatif, tak lekang digilas zaman.
Diksi begitu penting dalam kajian sebuah bahasa, karena banyak keindahan atas sebuah kata yang tak tereja oleh bibir. Diksi bak pijar bintang di angkasa yang menunjukan dirinya dengan kilauan, mempesona dan tak membosankan.
Terkadang banyak penulis begitu sulit dalam berdiksi, merasa takut dalam memulai sebuah tulisan, terkadang lidah kita merasa kelu untuk menulis sesuatu yang menakjubkan. Ada keraguan yang dibungkam sebelum diterjemahkan dalam bahasa.
Menulis itu sederhana seperti halnya mengadukan gula dalam gelas kopi. Menulislah dari apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan dan apa yang kita dengarkan.
Agar mampu menulis dengan segala keindahan, libatkan
5 macam panca indera kita.
1.
Sense of Touch, adalah menulis dengan melibatkan indera peraba.
indra peraba dapat digunakan untuk memperinci dengan apik tekstur permukaan
benda, atau apapun. Penggunaan indra peraba ini sangat cocok untuk
menggambarkan detail suatu permukaan, gesekan, tentang apa yg kita rasakan pada
kulit. Aplikasi indra peraba ini juga sangat tepat digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang tidak terlihat, seperti angin misalnya. Atau, cocok
juga diterapkan untuk sesuatu yang kita rasakan dengan menyentuhnya, atau tidak
dengan menyentuhnya.
Contoh: Pada pori-pori angin yang
dingin, aku pernah mengeja rindu yang datang tanpa permisi.
2.
Sense of Smell adalah menulis dengan melibatkan indra penciuman
hal ini akan membuat tulisan kita lebih beraroma. Tehnik ini akan lebih dahsyat
jika dipadukan dengan indra penglihatan.
Contoh: Di kepalaku wajahmu masih
menjadi prasasti, dan aroma badanmu selalu ku gantungkan dilangit harapan.
3.
Sense of Taste adalah menulis dengan melibatkan indra perasa.
Merasakan setiap energi yang ada di sekitar kita. Penggunaan indra perasa
sangat ampuh untuk menggambarkan rasa suatu makanan, atau sesuatu yg tercecap
di lidah. Contoh: Ku kecup rasa pekat
secangkir kopi di tangan kananku, sembari ku genggam Hp di tangan kiriku. Telah terkubur dengan bijaksana,
dirimu beserta centang biru, diriku bersama centang satu.
4.
Sense of Sight adalah menulis dengan melibatkan indra
penglihatan memiliki Prinsip “show, don’t
tell". Selalu ingat, dalam menulis, cobalah menunjukkan kepada pembaca
(dan tidak sekadar menceritakan semata). Buatlah pembaca seolah-olah bisa
“melihat” apa yang tengah kita ceritakan. Buat mereka seolah bisa menonton dan
membayangkannya. Prinsip utama dan
manjur dalam hal ini adalah DETAIL. Tulislah apa warnanya, bagaimana bentuknya,
ukurannya, umurnya, kondisinya.Contoh : Derit
daun pintu mencekik udara ditengah keheningan, membuatku tersadar jika kamu
hanya sebagai lamunan.
5.
Sense of hearing adalah menulis dengan melibatkan energi yang kita
dengar. Begitu banyak suara di sekitar kita. Belajarlah untuk menangkapnya.
Bagaimana? Dengarlah, lalu tuliskan. Mungkin, inilah sebab mengapa banyak
penulis sukses yang kadang menanti hening untuk menulis. Bisa jadi mereka ingin
menyimak suara-suara. Sebuah tulisan yang ditulis dengan indra pendengaran akan
terasa lebih berbunyi, lebih bersuara. Selain itu, penulis juga bisa berkreasi
dengan membuat hal-hal yang biasanya tak terdengar menjadi terdengar.
Contoh : Derum kejahatan yang mendekat terasa begitu kencang. Udara hening,
tetapi terasa berat oleh jerit keputusasaan yang dikumandangkan bebatuan,
sebuah keputusan yang menghakimiku untuk tak lagi merinduimu.
Acap kali
dalam menulis kita hanya melibatkan otak kita sebagai muara untuk berpikir
tanpa kita dengar, tanpa kita rasa, tanpa kita raba, jika terkadang sesuatu di
pelupuk mata bisa menjadi rongga untuk mencumbu tulisan kita. Mengapa kita
selalu melihat kursi yang kita duduki dengan pandangan yang begitu sederhana?
Sesekali buatlah ia mempesona dan anggun. Misal : “Di atas kursi ini, aku pernah memeluk ratapan bagaimana menungguimu
dengan sebuah doa takdim.” Setiap
apapun yang kita lihat, sesekali kita rasakan, kita raba, bahkan kita ampu kan
sebagai sebuah senyawa yang mampu bersuara.
Diksi itu bisa masuk dalam pelataran logika, karena logika adalah akal yang
digerakan sebuah ruh. Tulisan adalah hasil karya dari sebuah jasad yang
diperintah oleh otak, kemudian ia menapaki kalbu sebagai jejak untuk bersuara. Suara
itu tak melulu tentang ucapan, pula sebuah tulisan dengan segala keindahannya.
Cara mengembangkan diksi yang mudah adalah dengan memperbanyak muara baca. Semakin banyak bahasa yang kita sentuh, semakin kaya padanan kata/diksi yang bisa kita jumpai. Jadi, siaplah dengan memulai dan membaca.
Diksi tak melulu untuk puisi. Diksi dijabarkan sebagai kekayaan bahasa, memaknai kata sebagai bentuk keindahan. Layaknya secangkir Teh, ada hangat yang perlu diresapi karena bahasa adalah jembatan dimana kita bisa mengerti dan saling memahami.
Diksi adalah bagian dari Seni Bahasa, karena seni Bahasa itu meliputi menulis, dan berbicara. Jika menulis adalah my passion, maka membaca adalah my duty.
Bagaimana mengolah 5 panca indera agar tergali? Panca indera itu melekat dalam jasad kita, kita tak perlu perintahkan ia untuk memandu hati kita membuat sebuah tulisan yang indah. Tugas kita adalah menerima sinyal dari kelima panca indera tersebut yang kemudian kita bisa jabarkan dalam sebuah tulisan. Ketika kelima indera itu kita libatkan, maka tak ada tulisan yang biasa. Pepatah mengatakan menulislah dengan hati, karena hati mampu menerka indera kita dengan baik.
Diksi tak melulu sebuah kiasan, karena ia adalah sebuah padanan kata. Dalam google kentara di sebut dengan sinonim bagaimana tulisan kita tergali dengan baik? Sesekali jangan menulis kata yang kerap orang jumpai. Carilah padanan atau sinonim dari kata yang kita tunjuk. Kiasan itu termasuk peribahasa, bukan Diksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar