Ia mangkal menetap di halaman balai desa. Seperangkat kerangka dari bambu buatan suaminya, masih kokoh berdiri. Hanya atapnya yang sering diganti. Kadang terpal biru atau bekas spanduk pemberian pegawai desa. Bangunan itulah yang menaunginya selama ini. Melindunginya dari terik dan air hujan selama bertahun- tahun.
Pagi itu kerumunan pembeli masih antri. Ketika lengang, aku keluar dari mobil dan menghampirinya. Mata tuanya yang bertahun tersapu asap itu masih jelas mengenaliku. Dan tangan rentanya yang legam berkeriput itu, yang telah menjadikanku seperti saat ini. Kubantu dia bangun. Ia memelukku erat penuh rindu. "Mak, Emak berhenti saja berjualan, sudah tua. Apa kirimanku tidak cukup, Mak?" Bujukanku yang entah sudah yang ke berapa, selalu tidak ia hiraukan. Alasannya tetap sama bahwa masih banyak anak yatim dan orang jompo yang butuh uluran tangannya. Jawaban itu yang membuatku tetap bangga pada Emak, ibuku.
Geyongan, 10 Pebruari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar