Pentigraf
Karya Umi Noor
Senja kian temaram. Hujan sore tadi menyisakan dingin yang menusuk tulang. Suara adzan maghrib baru selesai berkumandang.Terdengar senandung shalawat dan pujian dari beberapa mesjid dan musholla. Jalanan nampak lengang, hanya sesekali kendaraan berlalu lalang. Seorang pemuda berpostur tubuh atletis, berjaket dan berhelm hitam menutupi seluruh wajah dengan kecepatan sedang masih memacu ninjanya di jalanan. Dialah Rama, pemuda yang sopan, baik hati dan mandiri. Karena pekerjaanya, dia kost di luar kota. Dia biasanya pulang saat akhir pekan.
Kamis sore, kerinduan pada ibunya tak tertahankan. Ibu sepuh yang sendirian di rumah. Ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu. Kedua kakak perempuannya ikut bersama suaminya. Selain itu, ada rindu yang membelenggu hati dan pikirannya. Rindu pada tambatan hati sejak SMA dulu. Sudah lama tak berkabar. Saat dihubungi, nomor ponselnyapun tidak aktif. Memang Rama belum pernah menyatakan perasaannya pada gadis itu. Tapi bagi Rama, perhatian dan keakrabannya selama ini sudah lebih dari cukup sebagai isyarat cinta padanya.
Sampai di rumah, Rama mendapati ibunya sedang berdzikir di kamar. Ia bergegas ambil wudhu lalu shalat maghrib. Ibunya masih berdoa ketika ia usai sholat. Rama menyandarkan tubuhnya pada sofa di ruang keluarga. Saat hendak mengambil remot TV di atas meja, matanya tertuju pada secarik kertas undangan yang terlihat indah. Tangannya perlahan hendak membuka plastik sampul undangan itu ketika ibunya tiba-tiba muncul dari kamar. "Itu undangan dari Sinta, lusa dia akan menikah." Suara ibunya yang lembut terasa bagai petir yang menyambar. Selama ini ia ternyata hanya memeluk bulan, batinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar