Selasa, 13 Oktober 2020

Kena Batunya

#Day4AISEIWritingChallenge




     Pagi itu kantor balai desa sudah menampakkan aktivitas. Beberapa warga datang mengurus keperluannya masing-masing. Di sela-sela aktivitas pelayanan, datang seseorang berseragam militer lengkap. Ia datang dengan langkah tegap. Tanpa salam dan dengan suara lantang ia menanyakan kepala desa. Dialog pun terjadi. Aku yang baru datang, mencari tempat duduk sambil menunggu.Tanpa sengaja, terdengar seluruh percakapan antara pak kades dan tamunya yang seorang tentara itu.
     "Ada yang bisa saya bantu, Pak?," tanya pak kades.
     "Saya disuruh komandan saya untuk minta tanda tangan pak kades," kata pria itu sambil mengeluarkan berkas yang cukup tebal. 
     Pak kades segera mempelajari berkas itu dengan teliti. Ada tiga tumpukan. Semuanya tebal-tebal.
     "Begini, Pak. Saya perlu telaah dulu semua berkasnya. Jadi bapak pulang dulu saja. Besok kesini lagi," jelas pak kades dengan tenang.
     " Tidak bisa, Pak. Harus ditanda-tangan sekarang juga. Nanti saya dimarahi komandan," pria itu ngotot dengan suara meninggi.
     "Ya sudah, telefon saja komandanmu. Sampaikan apa kata saya tadi," ujar pak kades.
     "Tidak bisa, Pak," harus selesai sekarang.
     "Ya sudah, biar saya yang telefon komandanmu," kata pa kades datar.
    "Si ... silakan!" kopral nampak gugup. 
    Pak kades meraih ponselnya. Mendekatkannya ke daun telinganya. Beberapa kali terdengar nada panggilan dari ponselnya.
    "Hallo ... Selamat siang," pak kades memulai sapaannya.
    " Selamat siang pak kades. Gimana kabarnya?" terdengar respon dari ponsel yang diloud-speaker.
    Selanjutnya terdengar jelas oleh kopral itu, pembicaraan antara pak kades dan pak komandan. Wajah kopral nampak memerah. Ia merasa kerdil dengan seragam yang dikenakannya. Seragam yang dibangga-banggakannya. Darah yang berdesir di nadinya menjalar ke seluruh tubuh. Apalagi ketika terdengar komandannya meminta bicara dengannya. Pak kades menyerahkan ponselnya kepada tentara yang berpangkat kopral itu.
     Dengan agak gemetar didekatkan ponsel ke telinganya. Terdengar suara komandannya bernada marah. 
     "Berkasnya biar ditinggal saja, pak kades," kata kopral itu agak gugup dengan nada bicara yang drastis menurun. 
     "Oh iya, silakan. Saya akan telaah agar nanti bila ada kekurangan, anda tidak bolak balik kesini mengurus segala sesuatunya," pak kades menjelaskan. 
     "Mohon maaf pak kades atas prilaku saya tadi. Saya tidak tahu kalau pak kades dulunya atasan komandan saya," tentara itu nampak tersipu malu, disambut dengan senyuman pak kades sambil menepuk bahunya.
     Adegan selanjutnya begitu fantastis. Tentara berpangkat kopral itu meminta pak kades untuk merekam dirinya melakukan push-up seratus kali lalu mengirim videonya kepada atasannya. Pak kades tak kuasa menolak ketika dijelaskan bahwa itu perintah atasannya. Sambil tersenyum pak kades menuruti pemintaan kopral itu. 
     Aku yang menyaksikan dari awal, hanya bisa geleng kepala. Seragam militer tak bisa dijadikan bahan kesombongan. Apalagi untuk memaksa orang lain menuruti kemauannya. Kopral itu kurang berliterasi, literasi sosial, pikirku. 

# Kota Wali, 10 Oktober 2020
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Writer's Block

Pentigraf Oleh: Yoyon Supriyono Diskusi mingguan sekitar masalah literasi di komunitas literasi Zamrud semakin ramai saja. Semu...