Tak lama ada pesan masuk lagi. Kali ini sebuah voice not. Ternyata suara Denayu, putriku. Seperti biasa dengan lancar ia bicara. Dari penjelasannya, ia tidak pacaran bertemu langsung dengan pria dan berbuat yang melanggar aturan. Ia hanya menulis sesuatu yang isinya memuja seorang pria bernama Fardan. Tulisan itu pun ditemukan bukan pada buku putriku, tapi pada buku temannya. Fardan adalah juga santri di pondok yang sama. Dan ternyata bukan hanya putriku yang menulis dan diberi peringatan. Teman akrabnya, Caca, juga melakukan hal yang sama.
Yang jadi ganjalan dalam benakku, soal tuduhan pacaran. Apakah menulis tentang lawan jenis dikatagorikan sebagai pacaran? Menurutku betapa sempit definisi pacaran di pondok tersebut. Atau memang sebagai tindakan preventif agar para santri tidak berpacaran selama di pondok? Bisa jadi demikian.
Aku memang pernah menyarankan agar ia belajar menulis. Menulis dalam artian mengekspresikan perasaan atau ide yang ada dalam pikirannya. Hal ini penting agar ia terbiasa menulis. Bukankah ini baik untuk melatih ketrampilan menulisnya?
Nanti jika ada kesempatan bertemu, aku ingin menyemangati dan memberi arahan terkait tata tertib pondok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar