Paimin memutar balik sepeda motornya. Ia pacu lagi menuju apotik yang pertama. Walaupun harus lama mengantri, setidaknya masih ada harapan untuk mendapatkannya. Mudah-mudahan antriannya sudah mulai berkurang. Begitu harapnya sepanjang jalan menuju apotik pertama, yang sempat ia tinggalkan karena antriannya panjang.
Kenyataan berkata lain. Sesampai di sana, Paimin mendapati antriannya justru bertambah panjang. Tapi apa boleh buat. Cuma ini harapan ayah mertuanya. Ya Allah, semoga ayah mampu bertahan. Berilah ia kekuatan. Doa ini terasa semakin menyesakkan dada Paimin.
Ia coba menghibur diri dengan menyapa pengantri di depannya. Ada kabar yang menghibur, bahwa stoknya masih banyak. Alhamdulillah. Dadanya terasa lega walau hatinya terus menghimpitnya dengan doa-doa sebisanya.
Satu demi satu pembeli keluar dari apotik dengan bergegas. Seakan semua sedang berpacu dengan waktu. Berburu harapan yang tergantung pada dinding angan yang setia menyisakan kesempatan.
Tiba-tiba terdengar petugas apotik menyampaikan pesan bahwa tinggal lima buah lagi tersisa. Paimin reflek menghitung sisa antrian. Pas. Ia berdiri di urutan kelima. Terdengar nada kecewa dari pengantri di belakangnya. Salah seorang memohon kepadanya agar memberikan antria padanya. Tentu saja Paimin tak bisa memberikannya.
Tibalah giliran Paimin. Namun, ketika hendak membayar tiba-tiba ponselnya berdering. Pada layar ponsel ia mencari tahu siapa pemilik panggilan itu. Ternyat Aytun yang menelfon.
"Mas, lupakan saja tabung oksigen itu. Ayah sudah tidak membutuhkannya lagi. Ia sudah pergi. Ia sudah tiada, Mas," nada sedih istrinya terdengar bagai petir yang menyambar. Paimin terduduk lunglai. Raganya seperti melepas tulang- tulang penopangnya. Ia merasa lemas tak bertenaga. Seribu kunang yang datang tak mampu menjaga kesadarannya. Pandangannya gelap. Paimin tak ingat apa-apa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar