Pada Suatu Perjalanan Pulang
Oleh Yoyon Supriyono
Pulang kerja adalah saat yang dinanti banyak karyawan atau pegawai. Kondisi lelah saat pulang kerja kadang bisa menimbulkan kantuk. Mengantuk saat pulang kerja kadang susah dihindari. Hal yang lumrah dan alami. Apalagi ketika di tempat kerja banyak yang harus dikerjakan. Tenaga dan pikiran tercurah dan terkuras agar tugas segera tuntas. Tubuhpun menjadi lelah dan enggan beraktifitas. Istirahat adalah langkah yang tepat, walau sering dibarengi kantuk yang berat.
Seperti saat ini, aku dan beberapa orang teman yang bekerja di sebuah sekolah, baru saja menuntaskan persiapan penilaian sekolah. Semua pekerjaan harus selesai dan tuntas hari ini, karena tim penilai akan datang besok. Satu per satu teman-temanku meninggalkan sekolah, kecuali aku yang masih duduk sambil mengecek ulang semua detail persiapan agar tidak ada yang terlewat. Ya, sebagai warga baru di lembaga ini, aku lebih banyak mengalah dalam banyak hal. Pulang pun tak pernah duluan.
Hawa kemarau masih terasa, walau musim hujan sudah tiba. Panas dan gerah. Tak terasa sudah pukul tiga sore. Di lapangan nampak masih ada anak-anak yang sedang melaksanakan kegiatan ekskul.
Ketika yakin semua persiapan sudah maksimal, aku merasa lega. Aku duduk di kursi tamu sambil rebahan. Belaian kipas angin cukup mengundang rasa kantukku. Apalagi semalam aku begadang di depan laptop. Tubuhku terhutang tidur. Tapi aku tak biasa tidur di kantor. Aku harus pulang.
Jalanan panjang berpuluh kilometer menjadi menuku setiap hari. Sebagian melewati kawasan hutan yang ditumbuhi pohon jati dan karet. Waktu tempuh rata-rata 1 sampai 1,5 jam. Tergantung situasi di jalanan. Sebenarnya bisa lewat tol, tapi taripnya lumayan mahal. Kecuali dalam kondisi urgent , itupun terpaksa.
Walaupun jauh, aku suka dengan setiap perjalananku pergi dan pulang kantor. Pemandangan di kanan kiri jalan yang penuh dengan pepohonan membuatku nyaman. Ditambah lagi segelas kopi dan sedikit cemilan selalu setia menemani. Tak ketinggalan alunan syair Ebiet G.A.D atau dangdut pantura mengiringi selama perjalanan.
AC mobilku rusak karena jarang kunyalakan. Aku lebih suka angin liar yang berhembus lewat jendela. Walaupun sejuk, udara di ruang AC itu lebih kotor dibanding yang tidak. Ini sudah dibuktikan secara ilmiah oleh seorang teman guru dari sekolah unggulan. Hasil penelitiannya ini mengusungnya sebagai pemenang inobel dan mendapat penghargaan dari LIPI.
Sore itu angin yang berhembus sepoi kembali mengundang kantukku. Sekejap aku terlelap. Tak tahu kemana arah mobil melaju. Hingga suara klakson itu menyadarkanku. Posisi mobilku sudah melenceng ke arah kanan melewati garis putih batas tengah jalan. Sebuah kendaraan tiba-tiba sudah berada di depanku. Reflekku bekerja. Kubanting setir ke kiri. Dari kaca spion kulihat sebuah truk tergelincir ke trotoar. Astagfirullah. Aku hampir mencelakai orang lain. Untunglah truk itu bisa terkendali dan berada kembali di badan jalan. Untunglah truk itu tidak berbalik mengejarku, tentu akan berabe urusannya. Nampak perlahan truk itu melaju kembali.
Mataku melirik gelas kopi di belakang handel perseneleng. Ah kosong. Tinggal ampasnya. Botol air mineralpun sudah kosong. Sementara kantuk masih bergelayut di mataku. Andai ada warung untuk istirahat sejenak sekadar menikmati segelas kopi pengusir kantuk, pikirku.
Sementara di atas sana, langit sudah mengukir mendung. Nampak bergulung-gulung, seolah memohon izin untuk segera menebar hujan. Di kanan kiri jalan belum nampak ada warung. Hanya pohon-pohon jati dan pohon-pohon karet yang bergoyang riang mengukuti tarian angin yang melantunkan simponi alam. Di sela kantukku masih kuingat beberapa kilometer ke depan ada beberapa warung. Dengan semangat kulaju terus mobilku.
Bekali-kali mulutku menguap, isyarat agar mata segera dipejam. Dalam nanar pandanganku samar-samar kulihat ada sebuah warung di tepi jalan. Namun seingatku baru kulihat bangunan warung seperti ini. Dan di area ini seingatku pula tidak ada warung. Tapi .... Ah, mungkin warung itu masih baru. Aku sudah tak sabar ingin segera sampai disana, menyeruput kopi hangat, menyantap mie rebus dan rebahan di balai-balai sekadar membunuh kantuk.
Kuparkir mobilku di tepian jalan, tak jauh dari warung. Di dekatnya ada pohon jati besar yang sebagian kayunya sudah kering dan gosong bekas terbakar. Bangunan warung ini sederhana. Tihang-tihangnya terbuat dari bambu yang divernis. Dindingnya dari gribig (anyaman bambu) yang juga divernis. Sementara atapnya seperti dari welit atau daun tebu kering yang tersusun rapih. Ada tiga bangku panjang agak lebar yang menghadap ke meja papan yang menyatu dengan diding bambu. Sebelah kanan, kiri dan depan. Beberapa pengunjung nampak bersiap meninggalkan warung, melanjutkan perjalanan agar tak terjebak hujan. Tinggal seorang pria paruh baya yang masih asyik menikmati segelas kopi dan makanan ringan di sana.
Dari dalam muncul seorang perempuan muda yang kuyakini sebagai pelayan atau pemilik warung tersebut.
"Bapak mau pesan apa?" suara lirih itu terdengar jelas dari bibirnya yang ranum.
Cantik juga pelayannya, pikirku.
"Kopi hitam Neng ..." sahutku, "ada mie rebus, Neng?" tanyaku melanjutkan.
"Ada Pak, pakai telor?" tanyanya lagi.
" Oh iya, jangan lupa dikasih cabe rawit. Gak usah dipotong ya Neng, cabenya," lanjutku.
"Baik Pak, mangga silakan duduk," ia mempersilakan sambil tersenyum. Manis sekali senyum itu. Senyum yang mengingatkanku pada seseorang ....
Aku duduk tak jauh dari pria paruh baya yang sedang asyik menikmati kopi. Sesekali asap mengepul dari rokok keretek yang dihisapnya. Ia tersenyum aneh ketika aku menatapnya. Kubalas senyuman itu.
"Bade teras kamana, Pak ?" tanyanya dalam bahasa Sunda membuka keheningan. Suaranya terasa berat. Seolah ada beban yang sedang ia tanggung dalam hatinya.
"Mau ke Cirebon, Kang," jawabku.
"Oh, masih jauh ya, Pak," bahasa Indonesianya masih medok logat Sunda.
"Kok berhenti disini, Pak?" tanyanya aneh.
"Emang kenapa Kang, gak boleh gitu ?" sanggahku sambil menguap menghalau rasa kantuk bercampur penasaran.
"Ini kopinya Pak, mie rebusnya sebentar lagi ya, Pak," kata pelayan itu sambil tersenyum dan menatapku aneh.
Aku masih penasaran dengan pertanyaan pria itu. Tapi ketika aku menoleh ke tempatnya duduk tadi , ia sudah tak ada. Kemana perginya pria tadi? Pertanyaannya masih membuatku penasaran. Aku segera meraih gelas kopi dan meminumnya. Ah, rasanya kok aneh. Belum selesai aku berpikir tentang rasa kopi, pelayan warung itu menyuguhkan semangkuk mie rebus pesananku. Rasa lapar membuatku tak bisa berpikir jernih. Belum lagi rasa kantuk yang membuatku tidak bisa konsentrasi. Kuaduk mie rebus di mangkuk itu dengan sendok agar kuahnya merata. Setelah rata dan mulai agak dingin, langsung kusantap. Walau ada rasa yang asing tapi kuhabiskan juga mie rebus itu. Mungkin karena lapar jadi soal rasa tidak soal, yang penting perut kenyang.
Ah, tak sedap rasanya kalau habis makan tidak merokok. Tapi, rokokku pun habis.
"Ada rokok, Neng?" tanyaku.
"Tinggal kretek, Pak, ada jisamsu, merah, sampurna, jarum coklat," kata pemilik warung sambil mengambil kaleng biskuit tempat rokok jualannya disimpan.
"Samsu aja Neng, sebatang," pilihku.
Sambil menikmati rokok, kubuka ponsel barangkali ada berita atau pesan penting. Angin kembali berbisik merayapi dedaunan. Suaranya gemerisik bersahutan menyanyikan mars jelang hujan.
Di atas sana langit sudah membentang mendung. Aku putuskan untuk segera pulang. Jangan sampai kehujanan di jalan, AC mobilku lagi gak berfungsi. Tentu akan repot kalau harus ngelap kaca depan yang berkabut. Setelah membayar aku langsung bergegas pulang. Kupacu mobilku menembus hutan yang kian mencekam.
Sejenak teringat ponselku. Aku lupa bilang ke istriku kalau aku pulang telat. Kucari di saku baju dan celanaku, di dasboard, di dalam tas. Tidak ada. Wah pasti tertinggal di warung tadi. Aku langsung putar balik mobilku. Berharap ponsel itu masih di sana.
Namun, sudah sekian jauh belum nampak warung yang tadi aku mampir. Jangan-jangan sudah terlewat. Aku putar balik lagi. Sengaja mobil kupelankan sambil mengingat-ingat posisi warung tadi. Sudut demi sudut pinggiran jalan itu kucermati. Namun tak kulihat ada warung. Yang sempat kuingat hanya pohon jati kering dan gosong. Ya, di dekat pohon jati kering itulah tepat warung itu berdiri. Ya, disitu seharusnya... tapi kemana warungnya, tadi kan disitu.... ?? Aku hanya diam terpaku, terheran-heran. Kemana warungnya? Kemana pelayan cantik dan pria paruh baya yang tadi ada di sana?
Sementara angin semakin berhembus kencang, menerbangkan daun-daun kering. Suaranya bergemuruh, merobek keheningan hutan sore itu.
Pikiranku berkecamuk. Kacau. Kemana warungnya .... kemana pelayan dan pria paruh baya yang lenyap begitu saja. Gelas kopi, mie rebus itu ... oh, apa yang tadi itu kumakan dan kuminum? Jangan-jangan ... ah kubuang jauh pikiran itu..
Angin kembali berhembus. Tercium aroma wangi bunga dan kemenyan. Baru kuingat ini sore Jum'at. Tiba-tiba, sayup-sayup kudengar suara rintihan minta tolong. Entah dari mana datangnya. Sepertinya dari balik semak dan pepohonan itu. Kian lama kian jelas. Seolah hendak kisahkan sepenggal cerita yang terkubur disana. Bulu kudukku bergidik.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel yang sedang kucari. Sepertinya dari dalam mobil. Aku bergegas ke mobil dan kubuka pintunya. Ah, ternyata di bawah jok. Mungkin terjatuh tadi. Deringnya terhenti saat kuraih. Kuperiksa siapa yang telepon, tapi ponselku _lowbat_ dan mati. Jangan-jangan istriku yang telefon tadi. Oh, betapa ia sedang mencemaskan diriku.
Angin kembali berhembus. Aroma bunga dan bau kemenyan kian menyengat. Aku merinding.
Gerimis mulai turun. Sudah tak kuhiraukan soal warung dan yang lainnya. Yang ada di benakku segera pergi dan meninggalkan tempat itu. Rasa kantukku hilang sudah. Aku pulang membawa sejuta tanya dan rasa penasaran.
Hingga keesokan harinya kuceritakan yang terjadi kepada teman-teman di kantor. Dan, aku begitu terkejut ketika mengetahui bahwa beberapa waktu yang lalu hutan itu pernah terbakar. Konon apinya merembet kemana-mana dan menurut berita ada beberapa bangunan warung yang ludes terbakar beserta penghuninya.
Oleh Yoyon Supriyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar