Minggu, 23 Oktober 2022

sopir angkot

Aku mengurungkan diri berhenti menjadi sopir angkot. Kejadian tragis dua malam lalu belum bisa menjadi alasan kuat. Aku kembali mengakrabi jalanan kota mengais penumpang. Seorang pria perlente melambaikan tangan dan menjadi penumpang kedua malam itu. Penumpang pertamaku seorang perempuan malang yang berhasil kutolong dari preman pasar yang merampas dompetnya. 

Perempuan itu meminta berhenti di depan gang kecil. "Ambil saja untuk keperluanmu. Aku lebih mudah mendapatkannya daripada mbak," aku menolak lembar rupiah yang ia berikan, walau sebetulnya aku sangat membutuhkan. 

Dari spion kulihat lelaki penumpang keduaku tersenyum melihat kejadian tadi. Ia bercerita bahwa ia terpaksa naik angkot karena mobilnya mogok di kantor. Karena kasihan, aku bersedia mengantarnya hingga depan rumah. Ia memberiku sebuah amplop berisi uang yang kutolak karena jumlahnya terlalu banyak. "Ambil saja untuk kebutuhanmu, aku lebih mudah mendapatkannya daripada abang," aku melongo melihat segepok lembaran merah bergambar proklamator. Belum sempat ucapkan terimakasih, lelaki itu telah lenyap di balik gerbang sebuah rumah mewah. 

Sabtu, 22 Oktober 2022

Hotel Impian

Surat undangan Diklat itu membuatku senang. Betapa tidak, sudah hampir dua tahun sejak berkecamuknya covid 19, tidak pernah merasakan stay di hotel dalam acara diklat atau semacamnya. Sudah terbayang tidur di kasur empuk, makan enak, ruang ber-AC, mandi shower air hangat atau berenang di kolam hotel yang jernih. Bayangan keindahan dan kenyamanan  sudah berseliweran di pelupuk mata.

Setelah check in, mulailah petualangan yang diimpikan itu. Memang kali ini tidak semewah di hotel bintang lima, tapi lumayan untuk sekedar merefresh diri. Setidaknya bisa makan gratis dengan menu standar untuk perbaikan gizi. 

Namun, nampaknya harapan tidak selalu sesuai dengan realita. Di pagi yang masih buta perut mulas telah membuatku terjaga. Rasa lega telah membuang sisa makan malam di atas toilet duduk, mendadak membuatku kelimpungan. Air dari selang tak keluar. Tombol pembuangpun tak berfungsi. Kucoba kran di wastafel, shower, semua tak berfungsi. Kututup lobang toilet yang mulai mengganggu aroma ruang sempit itu. Dengan hanya  berkaos oblong dan handuk aku menapaki tangga dari lantai tiga menemui petugas hotel di lantai bawah. "Mohon maaf, karena semalam mati lampu, suplai air di hotel terganggu." Petugas menunjukkan kamar kecil di samping mushola, mungkin ada sisa air yang bisa digunakan. Aku harus berjalan lagi dengan pantat lengket. Untung suasana sepi karena penghuni hotel masih lelap.

Sabtu, 08 Oktober 2022

Hadirku

Pisau bedah tajam itu segera menari lincah. Bagian bawah perut yang sudah membuncit sembilan bulan itu bersimbah darah. Aku menangis sejadi-jadinya. Tangisan yang hingga kini tak kumengerti maknanya. Entah sedih atau bahagia. 

Aku terpisah dari ruangan perempuan itu. Aku berada di sebuah kotak kaca hampir sebulan penuh. Hingga aku tak mengenal perempuan yang kuketahui sebagai ibuku itu tewas di usiaku yang baru 3 hari.

Seorang pembesuk telah dengan tak sengaja melakukannya. Ayahku, penunggu pasien ketika itu sedang keluar. Ibuku yang sedang merintih kehausan diberi segelas susu hingga habis. Perawat jaga terkejut melihat gelas yang sudah kosong. "Kasihan, dia kehausan," kata pembesuk yang hingga kini tidak diketahui identitasnya. Kututup buku diary hitam milik ayah. Telfon dari rumah sakit mengajakku bergegas. Ada pasien bumil yang harus segera dioperasi. 




Writer's Block

Pentigraf Oleh: Yoyon Supriyono Diskusi mingguan sekitar masalah literasi di komunitas literasi Zamrud semakin ramai saja. Semu...