Kuayun langkah untuk mendekatinya. Aku masih belum bisa melihat jelas wajahnya karena ia membelakangi arahku datang.
Aku sengaja berdiri mematung, menunggu nya sadar ada sepasang mata yang mengawasinya. Dia nampak terperangah mendapatiku sedang berdiri mengamati aktivitasnya. Spontan ia mengucap salam dan menyalamiku.
"Selamat, kamu murid pertama yang datang paling pagi," sapaku usai menjawab salamnya. Senyum kecil mengekspresikan hatinya yang tersanjung. Kedua tangannya dengan lincah memainkan sapu lidi, melahap daun-daun kering yang berserak ditabur angin.
Aku belum bernafsu untuk segera beranjak meninggalkannya. Kulontar pertanyaan dan pernyataan yang semuanya menggali tentang siapa dia. Gadis anak petani dengan enam bersaudara itu terlibat dalam celoteh pagiku sambil tetap asyik menyapu.
"Owh, jadi kamu yang pernah bapak lihat di jalan waktu itu, kan?" anganku melayang ke suatu siang dalam perjalanan pulang beberapa waktu lalu. Terbayang di benakku, jam berapa dia berangkat dari rumah hingga sepagi ini sudah berada di sekolah. Tak terukur olehku rasa tanggung jawab yang dimiliki anak seusianya. Melakukan sesuatu sendiri yang sebenarnya merupakan tugas kelompok, adalah sebuah pengorbanan yang luar biasa.
"Siapa namamu, neng?"
"Sari," jawab gadis berkulit sawo matang pekat itu ringan.
"Sari doank?"
"Sari tok?"
"Ya, Pak," tegasnya mengakhiri obrolan pagi itu karena sebuah panggilan memutus obrolan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar